Beranda | Artikel
Lingkungan Penuh Harapan Positif
16 jam lalu

Lingkungan Penuh Harapan Positif merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary dalam pembahasan Ada Apa dengan Remaja. Kajian ini disampaikan pada Selasa, 14 Rajab 1446 H / 14 Januari 2025 M.

Kajian Tentang Lingkungan Penuh Harapan Positif

Inilah yang disebut dengan kritik membangun, bukan kritik yang justru membuat seseorang kehilangan kepercayaan diri atau merasa tidak mampu melakukan apa-apa. Sebagai contoh, dalam sebuah riwayat dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan nasihat dengan cara yang penuh hikmah dan kasih sayang.

Cara Menyampaikan Kritik dengan Tepat

Dalam menyampaikan kritik kepada anak atau siapa pun, cara penyampaian sangatlah penting. Pendidikan itu lebih banyak berkaitan dengan teknis pelaksanaan dibandingkan sekadar teori di atas kertas. Oleh karena itu, cara penyampaian bisa berbeda-beda antara satu orang dengan yang lain, tetapi tetap harus mengikuti kaidah yang telah diajarkan dalam Islam.

Salah satu hal utama yang perlu diperhatikan adalah ketulusan niat dan tujuan. Kritik, nasihat, atau masukan yang diberikan haruslah bertujuan untuk membangun, meningkatkan motivasi, dan membantu orang tersebut menjadi lebih baik. Jangan sampai kritik malah mendiskreditkan, menjatuhkan, atau merendahkan martabat orang yang diberi masukan.

Ketika memberikan kritik atau saran, penting bagi kita untuk memperhatikan cara penyampaiannya. Kritik yang tidak tepat dapat berdampak negatif, terutama pada anak-anak atau remaja. Sebagai contoh, jika kita ingin mengajak anak untuk mengerjakan shalat malam, tetapi menggunakan kata-kata seperti, “Jangan seperti hewan ternak, hanya makan, minum, dan tidur,” maka ucapan ini terdengar menjatuhkan, tidak bijaksana, dan kurang menyenangkan.

Lihatlah bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan saran atau kritik. Beliau melakukannya dengan penuh hikmah dan kasih sayang, seperti dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma. Rasulullah bersabda:

نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللَّهِ لَوْ كَانَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ

“Sebaik-baik orang adalah Abdullah, seandainya dia mengerjakan shalat malam. (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan keseimbangan antara pujian dan saran. Nabi memuji Abdullah bin Umar dengan menyebutnya sebagai “sebaik-baik orang”. Namun, Nabi juga memberikan masukan agar dia memperbaiki dirinya dengan mengerjakan shalat malam.

Dalam mendidik anak atau memberikan kritik, kita perlu mengapresiasi sisi positif mereka sekaligus memberikan saran yang membangun. Mungkin ada banyak kekurangan yang harus diperbaiki, tetapi jangan lupa untuk mengakui kelebihan mereka. Hal ini memberikan motivasi agar mereka lebih bersemangat memperbaiki diri.

Jika kritik disampaikan dengan kalimat yang keras, seperti “Kamu kerjaannya hanya tidur, makan, dan minum. Pergi sana shalat malam!”, maka anak bisa merasa direndahkan atau dihina. Meskipun niatnya baik, kata-kata seperti itu justru dapat menjatuhkan mental mereka.

Sebaliknya, dengan memberikan apresiasi terlebih dahulu, seperti yang dicontohkan Nabi, seseorang akan merasa dihargai dan memiliki peluang untuk menjadi lebih baik. Kritik yang disampaikan dengan cara yang bijak dan penuh kasih sayang akan lebih efektif dalam memotivasi seseorang untuk berubah.

Dalam mendidik anak, ada kalanya kita perlu mengabaikan sisi negatif mereka dan lebih menonjolkan sisi positifnya. Pendekatan ini dapat memberikan motivasi dan semangat agar mereka menjadi lebih baik. Dengan cara ini, mereka akan merasa dihargai dan percaya bahwa mereka memiliki potensi untuk berubah menjadi lebih baik, bukan merasa sebagai seseorang yang buruk tanpa harapan.

Salim, seorang pelayan Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, menceritakan: “Sejak itu, Abdullah bin Umar tidak pernah lagi tidur di malam hari kecuali hanya sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hindari Kata-Kata yang Menjatuhkan

Sebaliknya, jika kita menggunakan kata-kata yang hanya berisi keluhan atau menyalahkan, dampaknya bisa melemahkan semangat anak. Contohnya, ketika anak malas belajar, kita berkata:
“Kamu ini tidak tahu bersyukur! Sudah disekolahkan mahal-mahal, masih malas belajar!”

Kata-kata seperti ini justru dapat membuat anak merasa tidak berharga, kehilangan harapan, dan bahkan menganggap dirinya sebagai anak yang mengecewakan. Akibatnya, mereka semakin sulit untuk memperbaiki diri.

Dalam memberikan nasihat, sebaiknya kita meneladani metode Nabi. Selain menyampaikan saran yang membangun, kita juga perlu menonjolkan sisi positif anak. Dengan begitu, mereka akan merasa didukung dan termotivasi untuk menjadi lebih baik. Jangan sampai nasihat kita malah menjatuhkan mental mereka.

Pentingnya Cara dalam Mendidik

Tidak ada orang tua yang tidak menginginkan kebaikan bagi anak-anaknya. Semua orang tua tentu memiliki tujuan baik. Namun, kadang-kadang tujuan tersebut tidak tercapai karena cara yang digunakan salah. Keinginan yang sangat kuat tanpa diiringi dengan cara yang tepat dapat berujung pada hasil yang tidak diinginkan.

Rasulullah menunjukkan kepada kita bagaimana cara seorang pendidik, baik itu orang tua, guru, atau siapa pun, harus mengenali objek pendidikannya, yaitu anak atau muridnya. Jika seorang pendidik tidak memahami kondisi anak, bisa jadi pendekatan yang diambil justru salah dan berujung pada dampak negatif.

Coba bayangkan jika Rasulullah menggunakan kata-kata kasar seperti, “Kamu ini seperti hewan ternak! Kerjamu hanya makan, minum, dan tidur, tetapi tidak melaksanakan shalat malam.” Tentu hasilnya tidak akan sama. Pendekatan yang salah seperti ini hanya akan melukai perasaan anak dan melemahkan semangat mereka.

Sebagai pendidik, baik orang tua maupun guru, kita wajib mendidik, mengarahkan, dan memberikan nasihat kepada anak-anak. Namun, caranya harus tepat agar tujuan tercapai. Hindari kata-kata yang menjatuhkan, dan sebaliknya, gunakan metode yang mendorong mereka untuk menjadi lebih baik.

Titik Nol Pendidikan: Jangan Marah

Pendidikan anak harus dimulai dengan memahami bahwa marah bukanlah cara yang tepat untuk memotivasi mereka. Ketika kita ingin mendorong anak berprestasi atau melakukan hal yang baik, tetapi pendekatan yang digunakan salah, seperti marah-marah, maka hasilnya akan negatif. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan contoh terbaik dalam hal ini. Beliau tidak pernah marah kepada anak-anak atau remaja, bahkan ketika mereka berbuat salah.

Lingkungan Penuh Harapan Positif

Salah satu aspek penting dalam pendidikan adalah membangun lingkungan yang memberikan harapan positif kepada anak, terutama remaja. Ada dua hal yang perlu ditanamkan dalam diri anak, yaitu khauf (rasa takut) dan raja’ (rasa harapan).

Rasa takut saja tidak cukup. Jika hanya rasa takut yang ditekankan, maka pendidikan menjadi timpang. Harapan harus diberikan untuk melengkapinya. Beri anak kepercayaan bahwa mereka memiliki peluang untuk berubah dan jalan menuju kebaikan. Jangan pernah mematahkan semangat mereka, walaupun mereka melakukan kesalahan.

Kesalahan adalah hal yang wajar terjadi pada anak dan remaja. Dengan segala keterbatasan usia dan pengalaman, mereka mungkin mengulangi kesalahan yang sama berulang kali. Ini adalah bagian dari proses tumbuh kembang mereka.

Penting bagi orang tua untuk menyadari bahwa kesalahan adalah sesuatu yang melekat pada anak-anak. Jika anak selalu benar dan tidak pernah salah, maka kehadiran orang tua menjadi tidak relevan. Justru, peran orang tua adalah untuk membimbing mereka memperbaiki kesalahan.

Maka jangan berlebihan atau lebai saat mendapati anak berbuat salah, misalnya dengan mengucapkan kata-kata seperti, “Percuma sudah diurus, disekolahkan, atau dinasihati.” Kalimat seperti itu mencerminkan sikap putus asa dan memberikan kesan tidak ada harapan. Sikap tersebut justru dapat mematahkan semangat seseorang, sebagaimana yang terjadi dalam kisah seorang tukang jagal yang membunuh 100 jiwa.

Ketika dia merasa putus harapan, dia bahkan membunuh seorang ahli ibadah yang telah menyatakan bahwa dirinya tidak memiliki harapan untuk bertaubat. Namun, saat bertemu dengan seorang ahli ilmu, dia mendapatkan nasihat yang berbeda. Ahli ilmu itu berkata, “Bertaubatlah! Apa yang menghalangimu dari taubat?”

Maka, jangan pernah memutus harapan seseorang, apa pun kesalahan yang telah dilakukannya. Salah satu dosa besar adalah berputus asa dari rahmat Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

… لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ…

“Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah.” (QS. Az-Zumar [39]: 53)

Selama manusia masih hidup, selalu ada harapan untuk bertaubat dan menjadi lebih baik. Bahkan, seseorang dapat diselamatkan dari neraka menuju surga karena motivasi yang muncul dari harapan tersebut. Sebaliknya, jika seseorang merasa tidak memiliki harapan, dia mungkin tidak akan pernah bangkit dari keterpurukan.

Kisah tukang jagal ini mengajarkan bahwa di detik-detik terakhir kehidupannya, nasibnya berubah dari buruk menjadi baik karena diberi harapan oleh seorang ahli ilmu. Ini menunjukkan betapa pentingnya memberikan harapan kepada orang lain, termasuk kepada anak-anak. Walaupun anak sering berbuat salah atau mengecewakan, jangan tunjukkan rasa kecewa di hadapannya. Sebaliknya, berikan motivasi, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Nuh ‘Alaihis Salam ketika menghadapi putranya.

Saat Nabi Nuh berada di atas perahu sementara putranya terombang-ambing di tengah gelombang banjir besar, beliau tidak menunjukkan kekecewaan, kemarahan, atau keputusasaan. Sebaliknya, beliau tetap memiliki harapan dan berkata kepada anaknya:

…يَا بُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا …

“Wahai anakku, naiklah ke perahu bersama kami.” (QS. Hud [11]: 42)

Ini adalah contoh inspiratif bagi semua orang tua agar tidak memutus harapan anak, apa pun kondisinya. Hidayah bukan di tangan manusia, melainkan di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun, memutus harapan seseorang dari rahmat Allah adalah dosa besar.

لاَ تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ

“Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah” (QS. Az-Zumar [39]: 53)

Lebih buruk lagi adalah dosa orang yang memutus harapan orang lain dari rahmat Allah. Ini seperti kisah ahli ibadah yang memutus harapan si tukang jagal untuk bertaubat. Akibatnya, ahli ibadah tersebut menjadi korban ke-100 si tukang jagal di dunia, dan tentu akan mempertanggungjawabkan sikapnya di akhirat. Cara yang salah, seperti menutup harapan seseorang untuk memperoleh rahmat Allah, adalah dosa besar yang harus dihindari.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian yang penuh manfaat ini.

Download mp3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54886-lingkungan-penuh-harapan-positif/